Friday, August 20, 2010

Temaram

Neno menelungkupkan wajahnya pada kedua lengannya. Air mata dan darah bercampur mengalir di lengan kanan dan kirinya. Berkali-kali Neno mengingatkan diri, anak laki-laki tak boleh menangis. Tapi dia tak kuat. Itu sebabnya dia melarikan diri ke tempat ini. Karena di sini dia tahu dia bisa menangis. Takkan ada yang tahu, takkan ada yang mendengar, takkan ada yang melihat, takkan ada yang menertawakan, takkan ada yang memarahi.

Atau.. benarkah tak ada yang tahu?

Tak perlu waktu lama untuk Rian dan Uni datang menghampirinya.

"Kenapa? Nangis melulu, kamu, No." Kata Rian, mencemooh. Uni terkikik kecil.

Neno tak berani mengangkat kepalanya. Rian pasti akan menertawakan wajahnya. Namun, Uni yang perhatian segera melihat darah yang mengalir pada kedua lengannya.

"Parah, Kak?" Kata Uni sambil mengangkat wajah Neno.

Neno tak menjawab. Dia membiarkan Uni memeriksa mulutnya, dari mana darah itu berasal.

"Ckckck.. dua sekaligus KO," kata Rian. "Itu gigi susu atau gigi dewasa, No?"

"Yang depan kanan masih susu, yang sebelah kiri samping dewasa," jawab Neno pelan.

"Yah, paling tidak kalau kamu besar nanti ga akan kentara banget, No. Tidak seperti si Uni, nih.. Hihihi." Uni melirik sebal, Rian tidak pernah berhenti meledek dua gigi depannya yang tanggal abadi akibat kena tinju ayah.

Mereka bertiga tertawa terkakak-kakak, lalu diam.

"Kamu ga bisa seperti ini terus, No. Sudah saatnya. Kami sudah mengumpulkan cukup banyak uang untukmu. Lihat, ini kami kumpulkan sejak kami belajar cara memindahkan barang dari Bang Gendeng," kata Rian sambil mengeluarkan sekantung penuh uang kertas dan receh dari balik kain lusuh yang menutupi tubuhnya.

Neno terpana, pasti tak mudah mengumpulkan uang sebanyak itu. Rian memang selalu menyayanginya. Meskipun dia jagoan meledek, tapi Neno selalu tahu bahwa hati Rian sangat lembut. Itu sebabnya dari dulu dia tak pernah melawan jika dipukul ayah. Rian selalu menerimanya dengan diam, sampai suatu saat ayah sadar, Rian memang sudah tak bisa lagi menjawab.

"Tapi, Ibu..." Neno kembali mengeluarkan dua kata yang selalu menjadi alasannya untuk tetap tinggal, menerima tinju demi tinju, tamparan demi tamparan, tendangan demi tendangan dari ayah.

"Tenang, Kak. Serahkan saja pada kami. Lihat, kami semakin jago 'kan, menampakkan diri. Kalau ayah berani macam-macam pada ibu, nanti akan kami takut-takuti dia sampai bola matanya keluar," kata Uni sambil menegapkan tubuhnya, seakan-akan dengan begitu dia bisa bertambah tinggi.

Neno memandang tubuh mungil Uni. Memang benar, dia semakin jago menampakkan diri. Cahaya rembulan masih menembus tubuh mungilnya, memperjelas kesan transparan bagi orang yang melihat. Tapi dibandingkan lima bulan yang lalu, saat Uni baru saja tersadar dari tidur panjangnya setelah nafasnya terhenti akibat cekikan ayah, tubuhnya sudah jauh lebih jelas terlihat.

"Kami akan menjaga ibu, No, aku janji. Tapi saat ini kami tak mampu menjagamu. Lagi pula, ayah tak pernah menyakiti ibu, kitalah yang dia benci. Ayah sangat mencintai ibu, dia tak sanggup hidup tanpa ibu. Sudah, jangan membantah. Ambil uang ini sekarang juga, lari, naik kereta ke Jakarta, cari kerja, dan jangan pernah lagi kembali kemari. Oh ya, dan cari dokter gigi begitu kau punya uang lebih." Rian mendesakkan kantong uang itu ke tangan Neno. Tangannya menyentuh tangan Neno, seketika terasa udara dingin merasuki tulang-tulang jari tangannya.

Neno merenung sejenak. Mungkin benar kata Rian, tak ada yang bisa menyelamatkannya. Hanya dirinya yang bisa. Tapi, Ibu..

"Baiklah, aku akan pergi. Tapi, biarkan aku mengucapkan selamat tinggal kepada--"

"Tidak, tidak ada selamat tinggal." Potong Rian. "Sekarang juga. Lari ke stasiun, jangan pernah menoleh ke arah rumah. Begitu kau melihat ibu, pasti kau ga jadi pergi."

Neno memandang wajah Rian. Seputih kertas. Dia tak sadar, sudah hampir dua tahun, sekarang dia sudah lebih tinggi daripada Rian. Padahal dulu Rian sering mengempit Neno di ketiaknya jika mereka sedang bercanda. Uni meringis. Tampak jelas kedua celah lebar di antara gigi-gigi Uni. Dulu Uni begitu manis. Menurut Neno, Uni adalah anak paling manis di kampung mereka. Sekarang wajahnya tak berona, matanya kuyu, dan rambutnya tanpa kilau. Tidak, Neno tidak mau meninggalkan ibunya. Tetapi Neno juga tak mau berakhir di sini, di tempat yang dingin dan luas ini, tak ada lampu jalan, hanya sinar pucat rembulan yang menerangi. Dan Neno tahu, begitu dia berakhir di tempat ini, sampai kapan pun dia takkan bisa keluar.

"Baiklah. Aku akan pergi sekarang juga. Tapi aku mau kalian berjanji, jika terjadi sesuatu kepada ibu, cari aku sekuat tenaga kalian. Entah bagaimana caranya, tapi cari aku." Kata Neno kepada Rian dan Uni.

Rian dan Uni saling memandang.

"Boleh, tapi kau juga harus berjanji. Jangan pernah kembali kemari, kecuali kalau kami yang memanggilmu. Kau juga harus berjanji, berjuanglah sekuat tenaga untuk tetap hidup. Jangan pernah menyerah." Tegas Rian.

Neno mengangguk kuat. Tatapannya memantulkan tekadnya untuk sekuat tenaga menepati janjinya.

"Dan cari dokter gigi," celetuk Uni.

Mereka bertiga tertawa terkikik-kikik. Di bawah sinar rembulan, di tengah dinginnya malam, ketiga anak itu berjanji dengan menyentuhkan ibu jari mereka, seperti yang dulu selalu mereka lakukan. Kemudian Neno membalikkan tubuhnya. Dengan diikuti tatapan Rian dan Uni, dia berlari kencang menembus ilalang yang menutupi sebagian besar jalan setapak. Di kanan-kirinya, deretan nisan berbaris, seperti pagar betis yang menghantar kepergian Neno ke luar area pemakaman umum, menuju kehidupan baru. Kehidupan yang dia tak tahu akan seperti apa.

Rian dan Uni tersenyum puas. Akhirnya, mereka berhasil meyakinkan Neno untuk pergi. Harus malam ini, tidak bisa ditunda lagi. Karena Rian dan Uni, dari alam tempat mereka berdiam, tahu apa yang akan segera terjadi di rumah. Rian dan Uni sudah melihat bakal adik mereka, kecil bersemayam di perut ibu. Neno belum tahu. Kalau dia tahu, dia pasti takkan mau pergi. Dan jika dia tidak pergi, Rian dan Uni tahu bahwa dia akan segera bergabung dengan mereka.

Thursday, June 10, 2010

Rumah Mungil dan Gadis Kecil

Ada seorang gadis kecil bernama Niana. Ia tinggal seorang diri di sebuah rumah mungil yang manis dengan halaman mungil yang indah, dengan pagar kayu putih sebagai pembatasnya.

Niana sangat mencintai rumah mungilnya. Ia mengawali setiap pagi dengan membuka pintu dan jendela-jendelanya untuk membiarkan udara segar masuk. Setelah itu ia akan mengambil sapu kecilnya dan memastikan bagian dalam dan luar rumahnya tersapu bersih. Sesuatu yang tidak biasa, kan, untuk seorang gadis kecil.

Niana sangat suka menghias rumahnya. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam membuat berbagai dekorasi yang nantinya akan ia gantungkan di tembok dalam dan luar rumahnya. Ada boneka-boneka kain kecil yang lucu, ada kapal kayu yang di-cat indah, ada berbagai kerajinan tangan dari biji-bijian, lonceng-lonceng kecil, dan juga kincir angin warna-warni.

Niana juga sangat menyukai halaman mungilnya. Ia memang suka berbagai jenis tanaman. Lihat saja, azalea dan gerbera tumbuh berdampingan bersama semak-semak mawar. Niana juga menanam pohon-pohon mungil dengan daun-daun hijau yang lebar. Semuanya terlihat indah di kebunnya. Tentu saja Niana tidak pernah lupa menyiangi dan memberinya pupuk secara teratur.

Oh ya, Niana juga menggunakan petak kecil di tepi kanan halamannya untuk menanam berbagai jenis sayur-mayur. Butir-butir tomat merambat berjajar dengan tanaman terung dan pohon-pohon cabai hijau, menghasilkan paduan warna yang sangat menyenangkan untuk dilihat.

Niana mencintai ladang kecilnya. dan jika tiba waktunya panen, maka Niana akan membuat berbagai macam masakan dari hasil kebunnya. Hasil kebun Niana rasanya jauh lebih enak daripada yang dibeli di pasar.

Pada suatu hari Niana berdiri bersandar di pintu rumahnya, memandang bahagia ke arah kebunnya. Tiba-tiba matanya menangkap kehadiran seseorang di sisi luar pagar, juga sedang menatap kagum ke arah kebun Niana.

Menyadari kehadiran Niana, orang itu melemparkan senyum menyapanya. Hati Niana berbunga-bunga. Ia melambaikan tangannya dan meminta orang itu untuk singgah sebentar ke rumahnya.

“Masuklah, Pak. Anda dapat duduk beristirahat di terasku.” Ajak Niana.

Tetapi orang itu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum.

“Terima kasih, Nak. Aku sibuk. Tetapi tamanmu indah sekali, benar-benar segar melihatnya meskipun dari luar sini saja.”

Dan orang itu pun berlalu pergi.

Niana kecewa. Padahal ia tidak keberatan membagi hasil kebunnya dengan Bapak itu andai saja ia mau singgah sebentar.

Niana kembali bersandar di pintu. Tapi kali ini pandangannya tidak mengarah ke kebun. Niana melihat lebih jauh ke balik pagar, menanti seseorang lain muncul dari ujung jalan berbatu. Tak lama kemudian, lewat seorang ibu berpayung menggendong seekor kucing di tangan kirinya.

“Ck.. ck.. Rumah yang indah sekali.” Katanya pada Niana, sambil matanya menelusuri dari rumah hingga halaman.
“Cantik sekali, Nak, caramu menggantung pot-pot kecil di langit-langit terasmu itu!” katanya lagi.
Niana tersenyum bangga. Ia memang sangat menyukai pot-pot itu!
“Mampirlah, Bu. Akan kuberi salah satu pot bunga tercantikku. Aku menanam jenis tanaman yang berbeda di setiap pot.” Jelas Niana bersemangat.
Ibu itu mengangkat kedua bahunya.
“Ck.. ck.. Baik sekali kau, nak. Tapi dokter hewan sudah menunggu.” Dan sambil menatap sekali lagi ke rumah Niana, ia pun berlalu pergi.
Niana menghela nafas. ‘Mengapa aku tidak mempunyai dokter tanaman untuk kutemui?’ pikirnya.

Tiba-tiba terdengar suara tawa terkikik, memecah lamunan Niana. Dua gadis kecil dan satu anak laki-laki seumuran Niana berbisik-bisik dari balik pagar sambil menunjuk-nunjuk, menertawakan Niana.
“Ada apa, sih?” Hardik Niana penasaran.
“Mengapa pakaianmu seperti nenek-nenek, padahal kau masih kecil?” tanya salah seorang gadis kepadanya.

Niana terkejut. Ia tidak pernah tahu bahwa baju yang dipakainya persis seperti baju nenek-nenek, dan tidak sama dengan yang dipakai gadis-gadis itu.
“Dan sepatumu.. hihihi. Itu sepatu bot nenek moyangmu, ya?” timpal si anak laki-laki dengan nada mengejek.
“Lagipula, kamu selalu membawa sapu atau sikat atau sekop untuk berkebun! Taruhan, pasti isi rumahmu sangat membosankan!” tambahnya, dan mereka pun kembali terkikik-kikik geli.
“Enak saja!!!” bantah Niana sambil mengacungkan sapunya.
Melihat gelagat Niana, anak-anak itu segera lari berhamburan sambil menjerit-jerit ketakutan.
“Tunggu!!” Teriak Niana. Terlambat! Padahal Niana baru saja hendak mengajak mereka masuk untuk melihat bahwa isi rumahnya tidaklah membosankan.

Di salah satu sudut rumah, Niana punya rumah boneka yang cukup besar, lengkap dengan perabot-perabot kecil dan boneka-boneka penghuninya. Ia juga punya sebuah kotak musik dengan sepasang penari balet di dalamnya. Ia juga punya mainan kayu yang dapat menghasilkan suara burung dan petir, boneka badut yang dapat digerakkan dengan tali, perahu penjelajah di dalam botol, belum lagi buku-buku cerita bergambar yang tersimpan rapi dalam sebuah kotak harta karun mirip milik para perompak.

‘Seharusnya mereka melihat semua itu’, pikir Niana.

Niana kembali menunggu dengan penuh harap. Setiap beberapa saat Niana maju satu langkah, sehingga tak lama kemudian ia telah berdiri tepat di balik pagar putihnya.

Sekarang ia memang dapat melihat jalanan dengan lebih jelas, tetapi beberapa saat kemudian awan gelap datang dan guntur mulai bergemuruh, angin pun bertiup kencang menebarkan daun-daun kering ke segala arah. Bulu roma Niana berdiri akibat dinginnya tiupan angin.

Seakan terbawa oleh angin, dari ujung jalan muncul seorang wanita muda, berjalan terburu-buru sambil berusaha mempertahankan selendangnya agar tidak ikut tertiup angin. Ia tertegun dan berhenti berjalan begitu melihat Niana sedang berdiri di balik pagar.

“Apa yang kau lakukan di sini, Nak? Lihat, betapa hangat kelihatannya rumah mungilmu itu? Segeralah masuk sekarang juga. Kamu bisa terserang flu.” ucapnya khawatir.
Sejenak Niana ragu, tetapi akhirnya ia menjawab pertanyaan wanita itu.
“Di dalam memang hangat sekali,” jawabnya. “Maukah kau masuk bersamaku?” ajak Niana.
Wanita itu tersenyum lembut.
”Tentu saja aku mau. Tapi sekarang aku harus segera menemui Peter. Seharusnya aku sudah menemuinya di jembatan satu jam yang lalu. Sekarang mood-nya pasti sudah jelek sekali.” jelasnya. Dan sekali lagi wanita muda itu pun melemparkan senyum dan pergi.

Niana mengikuti punggung wanita muda itu dengan pandangannya. Tiba-tiba guntur menggelegar dan satu persatu tetes hujan pun turun membasahi Niana. Niana bergegas masuk ke rumah dan membuat secangkir teh untuk menghangatkan tubuhnya. Ia duduk menatap ke luar jendela. Tiba-tiba Niana merasa sangat kesepian.

Sekonyong-konyong terlihat seorang laki-laki kecil berlari dari ujung jalan sambil melindungi kepalanya dengan jaket yang sudah basah kuyup. Tanpa berpikir panjang Niana segera berlari ke luar rumah sambil berteriak memanggil laki-laki itu.

“Hei, Pak!!! Ayo berteduh saja di rumahku!!!!” teriaknya. Niana lupa bahwa hujan akan membuatnya basah kuyup.

Sayang sekali, laki-laki kecil itu bahkan tidak menanggapi teriakannya. Ia hanya menengok sekilas dan segera memalingkan kembali wajahnya, mengambil langkah yang lebih besar-besar lagi menjauhi rumah Niana.

Niana menggigil memasuki rumah mungilnya. Ia sangat kedinginan, tetapi ia merasa matanya panas dan air yang mengaliri pipinya terasa hangat. Niana mengeringkan tubuhnya, membuat secangkir coklat panas dan menyamankan diri di kursi goyang di samping jendela sambil menanti hujan reda.

Niana tak sadar apakah hujan berlangsung sebentar atau semalaman, ia jatuh tertidur di kursi goyangnya yang berbantalan empuk. Ketika Niana terbangun, sinar matahari pagi menyapu lembut matanya dan burung-burung kecil berkicau bermain di daun jendela.

Niana mengerjap, ia tidak begitu ingat apa yang kemarin ia alami. Niana menguap. Sejenak ia memandangi rumah mungilnya yang diterangi sinar mentari pagi. Biasanya Niana selalu menyukai mentari pagi, tetapi entah mengapa hari ini ia merasa ada yang salah dengan rumahnya. Ia tidak tahu apa itu, ia hanya merasa rumah itu agak gelap dan dekorasi di dalamnya terasa berantakan.

Ia membuka pintu rumahnya. Kebun mungilnya menyapa dengan kesegaran luar biasa akibat siraman hujan kemarin sore dan tetes-tetes embun pagi berkilauan di bawah sinar lembut mentari. Niana tidak mengerti, tetapi ia merasa ada yang berubah dari kebun mungilnya. Niana berpikir, sepertinya kebun itu harus dipercantik lagi, dan lihat, tomat-tomat dan mentimun tumbuhnya agak berantakan.

Niana memandangi pot-pot bunga yang bergantungan di langit-langit teras. Mereka terlihat sunyi dan tidak beraturan. ‘Mungkin sudah saatnya aku menggantinya dengan pot-pot lain, atau mungkin dekorasi yang lain.’ Pikirnya.

Niana tidak tahu apa yang salah dengan pagi itu. Ia tidak tahu apa yang berubah dari kebun dan rumahnya. Mereka tampak sama sekaligus berbeda. Sepertinya, Niana tidak lagi terlalu menyukai mereka.

Dengan hati ganjil Niana mengambil sapu yang bertengger di tembok depan dan mulai menyapu. Dari sudut matanya, Niana menangkap seseorang datang dari ujung jalan. Sambil terus menyapu, Niana membalikkan badannya, memunggungi pagar, dan menyapu baik-baik debu-debu dari lantai terasnya.

Wednesday, March 17, 2010

Luka

Maaf, gelasnya terlepas dari tanganku. Seharusnya kita menjaganya berdua, memang didesain seperti itu. Tapi, aku mengerti kau harus pergi sebentar dan meninggalkanku memegang gelas itu sendirian. Aku berusaha sebaik mungkin, sungguh, aku berusaha untuk tetap terjaga. Tapi aku begitu terbiasa menggenggamnya berdua denganmu dan pada satu titik aku lengah, dia terjatuh. Tergelincir, lebih tepatnya.

Aku begitu panik saat sadar bahwa dia terlepas. Semuanya terasa seperti dalam gerak lambat, seakan-akan aku bisa menangkapnya jika tanganku bergerak lebih cepat sedetik saja. Tapi terlambat, terjadi begitu saja. Gelas yang selalu kita jaga selama bertahun-tahun, berdua, terlepas dan pecah dalam sekejap.

Semuanya salahku, aku kurang hati-hati menjaganya, mungkin aku tak memberikan sepenuh hatiku, mungkin aku menggerutu karena harus menjaganya sendirian, sementara kau pergi untuk mencari dirimu. Atau mungkin aku kurang menghargainya, karena dia selalu bertahan, bertahun-tahun, apa pun yang kulakukan, kau selalu menggenggamnya begitu erat, sehingga dia tak pernah sekalipun terjatuh dan pecah. Mungkin karena itu aku sudah lupa bahwa dia bisa pecah.

Sekarang, apa yang harus kulakukan? Bagaimana jika kau pulang sewaktu-waktu? Meskipun kau tak pernah bilang kapan, tapi aku tahu pada akhirnya kau akan pulang. Lalu, apa yang akan kau katakan melihat gelas itu berantakan? Gelas yang selama ini kita jaga dengan sepenuh hati, atau lebih tepatnya kau jaga dengan sepenuh hati. Aku memang selalu setengah hati. Mungkin aku memang tak pernah memberikan sepenuh hatiku.

Tidak, aku tak mau mengecewakanmu. Ini pertama kalinya kau pergi meninggalkan gelas ini, meskipun kau tak bilang akan kembali, tapi tetap saja, seharusnya aku menjaganya untukmu. Apa yang bisa kulakukan? Tak banyak pilihan yang kupunya, tapi aku bisa mengumpulkan pecahan-pecahannya dan merekatkannya kembali, bukan? Dan saat kau pulang nanti, kau akan menemukan aku tersenyum, menggenggam erat gelas kita, dan kau akan menggenggamkan tanganmu lagi di tanganku, dan berdua kita akan menjaga gelas itu lagi. Gelas kesayangan kita.

Maka aku pun merunduk, mengumpulkan keping demi keping. Kacanya sangat tajam, aku tak pernah mengira akan setajam itu. Kukira gelas itu terbuat dari kaca biasa, dan aku tahu kaca biasa takkan melukai jika kita berhati-hati. Tapi kaca ini lain. Aku langsung terluka begitu jariku menyentuh ujungnya. Rasanya sakit sekali. Lebih sakit daripada terpotong kertas. Sakitnya menjalar sampai ke jantungku. Tapi aku tak mau menyerah, aku tak sanggup membayangkanmu pulang dan tak melihatku sedang menggenggam gelas itu lagi. Lagi pula, apa lagi yang akan kita lakukan jika gelas itu tak ada? Mungkin kau akan langsung pergi lagi dan kali ini pasti kau takkan pernah kembali lagi.

Jadi aku pun terus mengumpulkan keping demi keping, dan tiap keping menggores jariku lebih dalam, dan rasa sakitnya memenuhi jantungku. Tapi aku takkan menyerah, aku akan mengumpulkan semuanya, sampai ke serpih terkecil sekali pun, meskipun itu berarti aku melukai seluruh tanganku dan semakin menyakiti jantungku. Lama sekali aku melakukannya, sampai seluruh syarafku mati rasa dan mataku terasa begitu lelah karena memelototi seluruh bagian lantai.

Aku mengambil lem dan mulai merekatkan keping-keping itu, satu demi satu, sampai serpihan terkecil sekalipun. Tidak, aku takkan melewatkan satu pun. Takkan ada yang terbuang, meskipun rasa-rasanya aku akan senang jika pekik-pekik kecilku bisa berkurang akibat tusukan-tusukan di jariku.

Aku menghabiskan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, untuk menyelesaikan semua itu? Entahlah, waktu terasa cepat saat kau masih jatuh cinta. Tapi akhirnya selesai juga. Aku memandang tanganku, sudah tak berbentuk. Jari-jari cantikku hanya tampak seperti batang-batang pohon yang kasar. Telapak tanganku tak lagi terasa halus. Tapi tak mengapa, gelasnya sudah utuh kembali. Kerja kerasku terbayar sudah. Kini kau bisa pulang, dan bersama kita akan kembali menggenggam gelas itu. Gelas kesayangan kita.

Hanya saja.. Entah mengapa dia tak tampak sama lagi. Di mana-mana terlihat bekas-bekas pecahannya, dan setiap sambungan lem membuat warnanya tak bening lagi. Heran, padahal aku sudah berusaha. Setiap bagian yang tidak pas kulepas kembali dan kucari tempatnya sampai ketemu. Aku memilih lem paling bening dengan kualitas paling bagus. Kukira hasilnya akan sempurna, tapi apa ini? Ini sama sekali tak mendekati apa yang dulu kita punya. Ini barang rusak, tak ada yang bisa dikagumi darinya. Dibuang pun takkan ada yang mau mengambilnya.

Lalu bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Apa yang bisa kukatakan saat kau pulang nanti? Kau pasti marah, kau pasti kecewa, kau pasti pergi, kali ini untuk selamanya. Mungkin kau takkan memarahiku atau mengeluarkan kata-kata kecewa, tapi kau akan menatapku. Dingin. Tanpa kerlip yang biasa ada di sana. Tidak, aku tak yakin aku bisa menghadapinya. Aku tak yakin tubuhku masih bisa menerima luka lain. Dan bagaimana jika jantungku berhenti karena rasa sakitnya terlalu berlebihan? Aku tak bisa menghadapi itu semua. Tapi tak mungkin kau diam saja, tak mungkin kau tak peduli, tak mungkin kau akan lupa, bukankah gelas itu yang paling penting untukmu?
Otakku berputar dan pikiranku mencari-cari, tapi tak kutemukan jawaban untuk mencegah semuanya terjadi. Kecuali... kalau kau tak pernah kembali.

Friday, February 12, 2010

What's Swept Under The Carpet

I don't know what's wrong with them. It was such a beautiful painting. A pretty little girl with cute yellow frock. Piggy tailed black hair and red shoes. The fuzzy bear she's holding is peeping from behind her back. It's the cutest thing I've ever seen, and it's almost five thousand times better than my dad's-attempt-to-paint-mom that's hanging in the living room.

We got it from a dead aunt that I never even knew. She's dead and her lawyer called dad to collect the inheritance. We were a little hopeful, mom and dad said she was incredibly rich. But turned out all we got is just this painting. All her money went to a social organization.

Well, for me, better little than none. Considering we never even visited her, she's nice enough to remember us in her deathbed. I asked mom and dad how come we never visited her, she must lived in a big house in the countryside. She said we visited her a couple of times when I was really small, but now, we're just too busy for relatives. Well, for me, better a rich relative than no relatives at all.

The first time we opened the wrappings, there were silence in the room. The painting fascinated me. I fell in love with it at the first sight. But mom and dad grew restless. Dad quickly wrapped it up again and murmured something I didn't really hear. He took it upstairs hurriedly. I didn't know what's wrong with them, but mom quickly said we better keep it in the attic.

"We should just hang it in the living room, Mom."

Gosh, how she looked nervous.

"What's wrong? What is it? What's with the painting?" My suspicion rose.

"Nothing. It just won't suit here. Look, it looks expensive, though. I think dad could find a buyer for that." Said Mom.

What?! Not only they never cared for her when she's alive, now they want to sell her only inheritance. Great, how respectful.

"I'm disappointed, Mom. You should've put more respect to her." I said, leaving.

***


If there's one thing I don't understand, it's grown-ups. They worked their asses off to get their hands on pricey things. And when they got the real deal, they trade it off for money.

I laid my head on the pillows. Too bad, it was such a pretty painting. I stared at the wall in front of me. Hey, why don't I hang it on my wall meanwhile? Must take a little while for Dad to find a buyer.

I went to the attic and got back in five minutes. I hung it on the wall and it fitted just nicely in my room. The yellow frock and the smile suited the white wall so nicely. It's such a soothing thing, looking at the girl.

Strange, after a while looking at it, I felt familiar with the face. Did I meet her back then when I was just a kid, visiting the aunt? And who is she, by the way? Is she the aunt's daughter? Didn't the lawyer say the aunt has no other beneficiary?
Did my parents know her? Is it why they acted so weird when they saw it?

I wanted to know badly, but I didn't feel like asking right now. I grew sleepy, the girl's smile was hypnotizing, and after a while I fell asleep.

***

I woke up gasping from the nightmare. It was her. It was the little girl, she needs help. She's drowning. She fell. I didn't mean it. I didn't mean to push her to the water. It's just that she can't stop bragging about how she found far more pebbles than me. Or maybe it's not just that, maybe it's also because she had this pretty dress on and all I had was a lousy blouse and dirty pants.

The memory came so sudden, so vivid. It was something I suppressed for too long, and it finally found its way out. I am a killer. I killed her. I was just a kid, but the hatred of having less and the intense desire to get rid of her came back to me at once. I was just a kid, but I wanted to kill her.

Friday, January 29, 2010

One Spring Tale in The Wilderness

Spring came and the world was teeming with life again. I could smell the fresh scent of grass, emerging from the thinning snow, and brown soil started to appear here and there. I could feel my fur started to shed. There were times when I was so proud of my winter fur. They said it was the best in the area, no other steel blue coat ever equal that of mine. But the years has taken its toll. And I couldn't be more relieve to know that soon it will be time to wear the thin brown summer coat again.

An obscure movement was coming from beneath the snow. I freezed a moment, then snatched. A snow hare. Nothing escapes my agile paws. I took the hare to the storage I dug near the hillside and I laid there resting for a moment.

'You're not young anymore, Rev." I reminded myself. Who knows this will be the last spring of my life?

I closed my eyes. I reminisced my life, from the day I was born, to this very moment. I can't say I'm not satisfied. A glorious youth, victorious adventures, a great wife and kids. What more could I ask for?

Suddenly, squeaking voices caught my sharp ears. The eggs. They must be hatched already. I got up from the ground and lurked from behind a rock. In front of me, a hunting field was waiting for the greatest hunter to make a move.

Few minutes later, my storage was bursting, and I feel a little exhausted. Few days ago, Kone gave birth to our sextuplets. Spring is always the busiest time for me, as Kone always gives birth in May. It took a while for the pups to learn to hunt by themselves, and an honorable male like me is never absent to provide.

I sighed. Yeah, provide. That's all I ever did. The celebrations for the new pups always overshadowed the celebration for the provider itself. Nobody ever care if one of those days in May is also the day I was born. Like today.

It's not that I'm complaining, but this icy wilderness is harsh. The severe weather, food scarcity, the hunters, not to mention the global warming. This could be my last birthday.

I don't want blame Kone. She has too many things in her hands already. Sometimes I do wish she would put more attention to me, not only to the kids. But, if that's not going to happen, then I will take care of this by myself, as I always do with things. This time, I will make a celebration for MYSELF.

I started to gather as many food as possible. Anything from a carcass to my favorite food, lemmings. By the end of the hunt, I brought home 50 lemmings, a hare, 10 birds, and a big deer carcass, a polar bear leftover.

"Well, well, this is what I call A FEAST." Kone greeted me with delight.

The sextuplets attacked the pile of food and ate them vigorously. For a moment, there was only munching sounds in the den.

Kone leaned her body on mine. I was waiting for her to ask what happened, and I would tell her that it's my birthday and that I have forgiven her for forgetting it all this time.

"Thank you dear, to remember." Was all she said.

"Well, of course I remember MY BIRTHDAY. Every year." I answered, a little harshly.

"Oh, I thought you forgot. You never wish me a happy birhtday." She said, rather perplexed.

"Well, isn't the birthday person who usually get a birthday wish, not the other way around?" I lift my eyebrow.

Kone chuckled.

"You fool old fox! We're octuplets. Of course we were born in the same day."

***

Thursday, January 21, 2010

The Lost Door

"You have to save the Millimen."

Those words repeated over and over again in Ruby's mind. She had been trying desperately to fall asleep, but she couldn't forget how Lilia suddenly appeared to her. 'It's been 20 years, how could she ever find me again?' Thought Ruby.

She finally surrendered. She got up from bed, pulled up her socks and put on her slippers. If Lilia took all the troubles to find her, then something must be happening. She opened her bedroom window and climbed down.

The street was damp and cold. She got on Bus No.2. It took 45 minutes to get there. She looked out the window, familiar houses and signs passed. She closed her eyes when they passed the lane with lining trees. It always scared her how those trees seemed to be moving and alive.

She had to walk another 15 minutes after she got off the bus. She remembered every turns and corners. The night air seemed to be haunting. She ran when she heard a hoot. She'd been wanted to run, and now she had the reason.

'I will get back before sunrise. Mom mustn't know about this.'

She remembered how Mom hated it, even just to hear about the Millimen. She said they didn't exist, it's just her imagination. But, Ruby knew it's because Mom never really paid attention. You see, they're so tiny. How could you see them when you're always busy doing things?

Mom also hated Lilia. That's because Lilia was the only kid who confessed to also see the Millimen. When they moved out of the house, Mom made sure Ruby would never mention Lilia again.

'Found it!' Still looked so much like it was, except for the weather-beaten condition. But what shocked her was the sign in front of it.

CONDEMNED. DEMOLITION ON JANUARY 23.

That's tomorrow! She regretted, why she didn't took Lilia's warning immediately. She ran into the dark house, shouting their names.

The house turned out to be more dilapidated than it looked. The floor was loose. It was dangerous, but Ruby headed boldly into the basement. That's where the Millimen live. It was dark, the only light was from a ventilation on the basement wall. Suddenly, they emerged out of nowhere. Pan, Skye, Blu, Flo, and Huggano.

"They're destroying the house, Ruby. We haven't found our way home yet. What should we do?" Said Huggano.

Ruby's heart tinged with pain. For 20 years they've been wandering alone in this abandoned house, unable to leave. Somewhere in this house, was the door to their world. They've been trying to find it ever since they accidentally got tossed here, but it was said to be so tiny, it's so hard to see. And without any light, it's even harder to find.

"We have to find the door before the demolition!" Ruby's voice was firm, but her heart sank.

The Millimen cheered. They're always so enthusiastic, so full of energy. They never changed. Back when she was kid, finding the door was their only activity. They would scavenged every inch of the house until Mom got so annoyed and tell her to stop.

"Not without me." The familiar voice was heard. Lilia appeared out of the blue.

"Perfect." Said Ruby, "Now all we need is light."

Suddenly, blinding lights were pouring all over the basement. It felt like 1000 flashlights devour them.

"It's okay, darling. We got you." Ruby heard Mom's voice as she grabbed her and locked her body. She tried to struggle, but then she felt a needle in her arm and then she felt so calm.

***

In the backseat of the car, Ruby leaned her head to the window. Her head felt so light, she wondered if she had just woken from a dream. Outside, she saw her mom, talking to some police.

'What is she doing there?' She thought. 'And why is that looked like my childhood home?'

Mom got into the car, and as they drove away, Ruby saw a pale little girl, peering from behind a big tree.

'That's Lilia.' Ruby thought of her childhood friend. 'Strange, why hasn't she grown a bit?'

Saturday, January 16, 2010

A Note On A First Date

It took me six months to muster the courage to ask her out. And the date couldn't be more perfect if this just didn't happen. I forgot my wallet. So much for making impression, I don't know what she would think of me five seconds from now.

I took a glance at the waiter. He looked down on me, waiting impatiently. Somehow, he grew taller and taller from where I sat. He already hated us because we were laughing so much, and didn't budge a bit although we knew they were closing for the night. That was until he came and showed us the bill.

'Ehm'. I cleared my throat. She's looking at me unknowingly with her big sparkly eyes. Oh no, she could've been my future, the wife I would marry one day. I would never met someone as perfect as her anymore. It just took me so many time and effort. I even read the twilight saga, just to make up some conversation. Then why, oh why, in my 16 year old life, something like this should happen? Right now, I just wanted the earth to break open and swallow me.

And suddenly it did.

At first, I thought it's just my hand, shaking so hard. But then, I heard the glass tingling, bottles toppled on the floor, and suddenly the windows cracked and shattered. It was chaos. We took cover under the table. But the shaking was tremendous, and I could see the floor began to crack.

'This must be my lucky day.' With that thought in mind, I passed out.

***

A friend once said, miracle only happens to saints. I woke up the next day in a hospital bed. It turned out to be a 5.0 magnitude earthquake. It wasn't much actually, but the pizzeria was said to be in an old building. My left arm suffered from a bone fracture. Apparently, somebody stepped on it on their way out during my passed out. I'm still trying hard not to think that it was the waiter, deliberately did it on purpose.

If you're curious about the girl, she's alright. She managed to get out. We met at school about a week after that, but she thought it's a bad omen to keep dating someone with whom you had such a traumatic first date with. If only she knew that I also couldn't pay for the meal.

Well for me, I've learned my lesson. Life is just too short to wait for six months to ask your dream girl out. And by the way, my dating life isn't that bad anymore. Many girls wanted to know about what happened, and the cast helped a lot, too.