Friday, August 20, 2010

Temaram

Neno menelungkupkan wajahnya pada kedua lengannya. Air mata dan darah bercampur mengalir di lengan kanan dan kirinya. Berkali-kali Neno mengingatkan diri, anak laki-laki tak boleh menangis. Tapi dia tak kuat. Itu sebabnya dia melarikan diri ke tempat ini. Karena di sini dia tahu dia bisa menangis. Takkan ada yang tahu, takkan ada yang mendengar, takkan ada yang melihat, takkan ada yang menertawakan, takkan ada yang memarahi.

Atau.. benarkah tak ada yang tahu?

Tak perlu waktu lama untuk Rian dan Uni datang menghampirinya.

"Kenapa? Nangis melulu, kamu, No." Kata Rian, mencemooh. Uni terkikik kecil.

Neno tak berani mengangkat kepalanya. Rian pasti akan menertawakan wajahnya. Namun, Uni yang perhatian segera melihat darah yang mengalir pada kedua lengannya.

"Parah, Kak?" Kata Uni sambil mengangkat wajah Neno.

Neno tak menjawab. Dia membiarkan Uni memeriksa mulutnya, dari mana darah itu berasal.

"Ckckck.. dua sekaligus KO," kata Rian. "Itu gigi susu atau gigi dewasa, No?"

"Yang depan kanan masih susu, yang sebelah kiri samping dewasa," jawab Neno pelan.

"Yah, paling tidak kalau kamu besar nanti ga akan kentara banget, No. Tidak seperti si Uni, nih.. Hihihi." Uni melirik sebal, Rian tidak pernah berhenti meledek dua gigi depannya yang tanggal abadi akibat kena tinju ayah.

Mereka bertiga tertawa terkakak-kakak, lalu diam.

"Kamu ga bisa seperti ini terus, No. Sudah saatnya. Kami sudah mengumpulkan cukup banyak uang untukmu. Lihat, ini kami kumpulkan sejak kami belajar cara memindahkan barang dari Bang Gendeng," kata Rian sambil mengeluarkan sekantung penuh uang kertas dan receh dari balik kain lusuh yang menutupi tubuhnya.

Neno terpana, pasti tak mudah mengumpulkan uang sebanyak itu. Rian memang selalu menyayanginya. Meskipun dia jagoan meledek, tapi Neno selalu tahu bahwa hati Rian sangat lembut. Itu sebabnya dari dulu dia tak pernah melawan jika dipukul ayah. Rian selalu menerimanya dengan diam, sampai suatu saat ayah sadar, Rian memang sudah tak bisa lagi menjawab.

"Tapi, Ibu..." Neno kembali mengeluarkan dua kata yang selalu menjadi alasannya untuk tetap tinggal, menerima tinju demi tinju, tamparan demi tamparan, tendangan demi tendangan dari ayah.

"Tenang, Kak. Serahkan saja pada kami. Lihat, kami semakin jago 'kan, menampakkan diri. Kalau ayah berani macam-macam pada ibu, nanti akan kami takut-takuti dia sampai bola matanya keluar," kata Uni sambil menegapkan tubuhnya, seakan-akan dengan begitu dia bisa bertambah tinggi.

Neno memandang tubuh mungil Uni. Memang benar, dia semakin jago menampakkan diri. Cahaya rembulan masih menembus tubuh mungilnya, memperjelas kesan transparan bagi orang yang melihat. Tapi dibandingkan lima bulan yang lalu, saat Uni baru saja tersadar dari tidur panjangnya setelah nafasnya terhenti akibat cekikan ayah, tubuhnya sudah jauh lebih jelas terlihat.

"Kami akan menjaga ibu, No, aku janji. Tapi saat ini kami tak mampu menjagamu. Lagi pula, ayah tak pernah menyakiti ibu, kitalah yang dia benci. Ayah sangat mencintai ibu, dia tak sanggup hidup tanpa ibu. Sudah, jangan membantah. Ambil uang ini sekarang juga, lari, naik kereta ke Jakarta, cari kerja, dan jangan pernah lagi kembali kemari. Oh ya, dan cari dokter gigi begitu kau punya uang lebih." Rian mendesakkan kantong uang itu ke tangan Neno. Tangannya menyentuh tangan Neno, seketika terasa udara dingin merasuki tulang-tulang jari tangannya.

Neno merenung sejenak. Mungkin benar kata Rian, tak ada yang bisa menyelamatkannya. Hanya dirinya yang bisa. Tapi, Ibu..

"Baiklah, aku akan pergi. Tapi, biarkan aku mengucapkan selamat tinggal kepada--"

"Tidak, tidak ada selamat tinggal." Potong Rian. "Sekarang juga. Lari ke stasiun, jangan pernah menoleh ke arah rumah. Begitu kau melihat ibu, pasti kau ga jadi pergi."

Neno memandang wajah Rian. Seputih kertas. Dia tak sadar, sudah hampir dua tahun, sekarang dia sudah lebih tinggi daripada Rian. Padahal dulu Rian sering mengempit Neno di ketiaknya jika mereka sedang bercanda. Uni meringis. Tampak jelas kedua celah lebar di antara gigi-gigi Uni. Dulu Uni begitu manis. Menurut Neno, Uni adalah anak paling manis di kampung mereka. Sekarang wajahnya tak berona, matanya kuyu, dan rambutnya tanpa kilau. Tidak, Neno tidak mau meninggalkan ibunya. Tetapi Neno juga tak mau berakhir di sini, di tempat yang dingin dan luas ini, tak ada lampu jalan, hanya sinar pucat rembulan yang menerangi. Dan Neno tahu, begitu dia berakhir di tempat ini, sampai kapan pun dia takkan bisa keluar.

"Baiklah. Aku akan pergi sekarang juga. Tapi aku mau kalian berjanji, jika terjadi sesuatu kepada ibu, cari aku sekuat tenaga kalian. Entah bagaimana caranya, tapi cari aku." Kata Neno kepada Rian dan Uni.

Rian dan Uni saling memandang.

"Boleh, tapi kau juga harus berjanji. Jangan pernah kembali kemari, kecuali kalau kami yang memanggilmu. Kau juga harus berjanji, berjuanglah sekuat tenaga untuk tetap hidup. Jangan pernah menyerah." Tegas Rian.

Neno mengangguk kuat. Tatapannya memantulkan tekadnya untuk sekuat tenaga menepati janjinya.

"Dan cari dokter gigi," celetuk Uni.

Mereka bertiga tertawa terkikik-kikik. Di bawah sinar rembulan, di tengah dinginnya malam, ketiga anak itu berjanji dengan menyentuhkan ibu jari mereka, seperti yang dulu selalu mereka lakukan. Kemudian Neno membalikkan tubuhnya. Dengan diikuti tatapan Rian dan Uni, dia berlari kencang menembus ilalang yang menutupi sebagian besar jalan setapak. Di kanan-kirinya, deretan nisan berbaris, seperti pagar betis yang menghantar kepergian Neno ke luar area pemakaman umum, menuju kehidupan baru. Kehidupan yang dia tak tahu akan seperti apa.

Rian dan Uni tersenyum puas. Akhirnya, mereka berhasil meyakinkan Neno untuk pergi. Harus malam ini, tidak bisa ditunda lagi. Karena Rian dan Uni, dari alam tempat mereka berdiam, tahu apa yang akan segera terjadi di rumah. Rian dan Uni sudah melihat bakal adik mereka, kecil bersemayam di perut ibu. Neno belum tahu. Kalau dia tahu, dia pasti takkan mau pergi. Dan jika dia tidak pergi, Rian dan Uni tahu bahwa dia akan segera bergabung dengan mereka.