Wednesday, March 17, 2010

Luka

Maaf, gelasnya terlepas dari tanganku. Seharusnya kita menjaganya berdua, memang didesain seperti itu. Tapi, aku mengerti kau harus pergi sebentar dan meninggalkanku memegang gelas itu sendirian. Aku berusaha sebaik mungkin, sungguh, aku berusaha untuk tetap terjaga. Tapi aku begitu terbiasa menggenggamnya berdua denganmu dan pada satu titik aku lengah, dia terjatuh. Tergelincir, lebih tepatnya.

Aku begitu panik saat sadar bahwa dia terlepas. Semuanya terasa seperti dalam gerak lambat, seakan-akan aku bisa menangkapnya jika tanganku bergerak lebih cepat sedetik saja. Tapi terlambat, terjadi begitu saja. Gelas yang selalu kita jaga selama bertahun-tahun, berdua, terlepas dan pecah dalam sekejap.

Semuanya salahku, aku kurang hati-hati menjaganya, mungkin aku tak memberikan sepenuh hatiku, mungkin aku menggerutu karena harus menjaganya sendirian, sementara kau pergi untuk mencari dirimu. Atau mungkin aku kurang menghargainya, karena dia selalu bertahan, bertahun-tahun, apa pun yang kulakukan, kau selalu menggenggamnya begitu erat, sehingga dia tak pernah sekalipun terjatuh dan pecah. Mungkin karena itu aku sudah lupa bahwa dia bisa pecah.

Sekarang, apa yang harus kulakukan? Bagaimana jika kau pulang sewaktu-waktu? Meskipun kau tak pernah bilang kapan, tapi aku tahu pada akhirnya kau akan pulang. Lalu, apa yang akan kau katakan melihat gelas itu berantakan? Gelas yang selama ini kita jaga dengan sepenuh hati, atau lebih tepatnya kau jaga dengan sepenuh hati. Aku memang selalu setengah hati. Mungkin aku memang tak pernah memberikan sepenuh hatiku.

Tidak, aku tak mau mengecewakanmu. Ini pertama kalinya kau pergi meninggalkan gelas ini, meskipun kau tak bilang akan kembali, tapi tetap saja, seharusnya aku menjaganya untukmu. Apa yang bisa kulakukan? Tak banyak pilihan yang kupunya, tapi aku bisa mengumpulkan pecahan-pecahannya dan merekatkannya kembali, bukan? Dan saat kau pulang nanti, kau akan menemukan aku tersenyum, menggenggam erat gelas kita, dan kau akan menggenggamkan tanganmu lagi di tanganku, dan berdua kita akan menjaga gelas itu lagi. Gelas kesayangan kita.

Maka aku pun merunduk, mengumpulkan keping demi keping. Kacanya sangat tajam, aku tak pernah mengira akan setajam itu. Kukira gelas itu terbuat dari kaca biasa, dan aku tahu kaca biasa takkan melukai jika kita berhati-hati. Tapi kaca ini lain. Aku langsung terluka begitu jariku menyentuh ujungnya. Rasanya sakit sekali. Lebih sakit daripada terpotong kertas. Sakitnya menjalar sampai ke jantungku. Tapi aku tak mau menyerah, aku tak sanggup membayangkanmu pulang dan tak melihatku sedang menggenggam gelas itu lagi. Lagi pula, apa lagi yang akan kita lakukan jika gelas itu tak ada? Mungkin kau akan langsung pergi lagi dan kali ini pasti kau takkan pernah kembali lagi.

Jadi aku pun terus mengumpulkan keping demi keping, dan tiap keping menggores jariku lebih dalam, dan rasa sakitnya memenuhi jantungku. Tapi aku takkan menyerah, aku akan mengumpulkan semuanya, sampai ke serpih terkecil sekali pun, meskipun itu berarti aku melukai seluruh tanganku dan semakin menyakiti jantungku. Lama sekali aku melakukannya, sampai seluruh syarafku mati rasa dan mataku terasa begitu lelah karena memelototi seluruh bagian lantai.

Aku mengambil lem dan mulai merekatkan keping-keping itu, satu demi satu, sampai serpihan terkecil sekalipun. Tidak, aku takkan melewatkan satu pun. Takkan ada yang terbuang, meskipun rasa-rasanya aku akan senang jika pekik-pekik kecilku bisa berkurang akibat tusukan-tusukan di jariku.

Aku menghabiskan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, untuk menyelesaikan semua itu? Entahlah, waktu terasa cepat saat kau masih jatuh cinta. Tapi akhirnya selesai juga. Aku memandang tanganku, sudah tak berbentuk. Jari-jari cantikku hanya tampak seperti batang-batang pohon yang kasar. Telapak tanganku tak lagi terasa halus. Tapi tak mengapa, gelasnya sudah utuh kembali. Kerja kerasku terbayar sudah. Kini kau bisa pulang, dan bersama kita akan kembali menggenggam gelas itu. Gelas kesayangan kita.

Hanya saja.. Entah mengapa dia tak tampak sama lagi. Di mana-mana terlihat bekas-bekas pecahannya, dan setiap sambungan lem membuat warnanya tak bening lagi. Heran, padahal aku sudah berusaha. Setiap bagian yang tidak pas kulepas kembali dan kucari tempatnya sampai ketemu. Aku memilih lem paling bening dengan kualitas paling bagus. Kukira hasilnya akan sempurna, tapi apa ini? Ini sama sekali tak mendekati apa yang dulu kita punya. Ini barang rusak, tak ada yang bisa dikagumi darinya. Dibuang pun takkan ada yang mau mengambilnya.

Lalu bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Apa yang bisa kukatakan saat kau pulang nanti? Kau pasti marah, kau pasti kecewa, kau pasti pergi, kali ini untuk selamanya. Mungkin kau takkan memarahiku atau mengeluarkan kata-kata kecewa, tapi kau akan menatapku. Dingin. Tanpa kerlip yang biasa ada di sana. Tidak, aku tak yakin aku bisa menghadapinya. Aku tak yakin tubuhku masih bisa menerima luka lain. Dan bagaimana jika jantungku berhenti karena rasa sakitnya terlalu berlebihan? Aku tak bisa menghadapi itu semua. Tapi tak mungkin kau diam saja, tak mungkin kau tak peduli, tak mungkin kau akan lupa, bukankah gelas itu yang paling penting untukmu?
Otakku berputar dan pikiranku mencari-cari, tapi tak kutemukan jawaban untuk mencegah semuanya terjadi. Kecuali... kalau kau tak pernah kembali.

No comments:

Post a Comment