Thursday, June 10, 2010

Rumah Mungil dan Gadis Kecil

Ada seorang gadis kecil bernama Niana. Ia tinggal seorang diri di sebuah rumah mungil yang manis dengan halaman mungil yang indah, dengan pagar kayu putih sebagai pembatasnya.

Niana sangat mencintai rumah mungilnya. Ia mengawali setiap pagi dengan membuka pintu dan jendela-jendelanya untuk membiarkan udara segar masuk. Setelah itu ia akan mengambil sapu kecilnya dan memastikan bagian dalam dan luar rumahnya tersapu bersih. Sesuatu yang tidak biasa, kan, untuk seorang gadis kecil.

Niana sangat suka menghias rumahnya. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam membuat berbagai dekorasi yang nantinya akan ia gantungkan di tembok dalam dan luar rumahnya. Ada boneka-boneka kain kecil yang lucu, ada kapal kayu yang di-cat indah, ada berbagai kerajinan tangan dari biji-bijian, lonceng-lonceng kecil, dan juga kincir angin warna-warni.

Niana juga sangat menyukai halaman mungilnya. Ia memang suka berbagai jenis tanaman. Lihat saja, azalea dan gerbera tumbuh berdampingan bersama semak-semak mawar. Niana juga menanam pohon-pohon mungil dengan daun-daun hijau yang lebar. Semuanya terlihat indah di kebunnya. Tentu saja Niana tidak pernah lupa menyiangi dan memberinya pupuk secara teratur.

Oh ya, Niana juga menggunakan petak kecil di tepi kanan halamannya untuk menanam berbagai jenis sayur-mayur. Butir-butir tomat merambat berjajar dengan tanaman terung dan pohon-pohon cabai hijau, menghasilkan paduan warna yang sangat menyenangkan untuk dilihat.

Niana mencintai ladang kecilnya. dan jika tiba waktunya panen, maka Niana akan membuat berbagai macam masakan dari hasil kebunnya. Hasil kebun Niana rasanya jauh lebih enak daripada yang dibeli di pasar.

Pada suatu hari Niana berdiri bersandar di pintu rumahnya, memandang bahagia ke arah kebunnya. Tiba-tiba matanya menangkap kehadiran seseorang di sisi luar pagar, juga sedang menatap kagum ke arah kebun Niana.

Menyadari kehadiran Niana, orang itu melemparkan senyum menyapanya. Hati Niana berbunga-bunga. Ia melambaikan tangannya dan meminta orang itu untuk singgah sebentar ke rumahnya.

“Masuklah, Pak. Anda dapat duduk beristirahat di terasku.” Ajak Niana.

Tetapi orang itu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum.

“Terima kasih, Nak. Aku sibuk. Tetapi tamanmu indah sekali, benar-benar segar melihatnya meskipun dari luar sini saja.”

Dan orang itu pun berlalu pergi.

Niana kecewa. Padahal ia tidak keberatan membagi hasil kebunnya dengan Bapak itu andai saja ia mau singgah sebentar.

Niana kembali bersandar di pintu. Tapi kali ini pandangannya tidak mengarah ke kebun. Niana melihat lebih jauh ke balik pagar, menanti seseorang lain muncul dari ujung jalan berbatu. Tak lama kemudian, lewat seorang ibu berpayung menggendong seekor kucing di tangan kirinya.

“Ck.. ck.. Rumah yang indah sekali.” Katanya pada Niana, sambil matanya menelusuri dari rumah hingga halaman.
“Cantik sekali, Nak, caramu menggantung pot-pot kecil di langit-langit terasmu itu!” katanya lagi.
Niana tersenyum bangga. Ia memang sangat menyukai pot-pot itu!
“Mampirlah, Bu. Akan kuberi salah satu pot bunga tercantikku. Aku menanam jenis tanaman yang berbeda di setiap pot.” Jelas Niana bersemangat.
Ibu itu mengangkat kedua bahunya.
“Ck.. ck.. Baik sekali kau, nak. Tapi dokter hewan sudah menunggu.” Dan sambil menatap sekali lagi ke rumah Niana, ia pun berlalu pergi.
Niana menghela nafas. ‘Mengapa aku tidak mempunyai dokter tanaman untuk kutemui?’ pikirnya.

Tiba-tiba terdengar suara tawa terkikik, memecah lamunan Niana. Dua gadis kecil dan satu anak laki-laki seumuran Niana berbisik-bisik dari balik pagar sambil menunjuk-nunjuk, menertawakan Niana.
“Ada apa, sih?” Hardik Niana penasaran.
“Mengapa pakaianmu seperti nenek-nenek, padahal kau masih kecil?” tanya salah seorang gadis kepadanya.

Niana terkejut. Ia tidak pernah tahu bahwa baju yang dipakainya persis seperti baju nenek-nenek, dan tidak sama dengan yang dipakai gadis-gadis itu.
“Dan sepatumu.. hihihi. Itu sepatu bot nenek moyangmu, ya?” timpal si anak laki-laki dengan nada mengejek.
“Lagipula, kamu selalu membawa sapu atau sikat atau sekop untuk berkebun! Taruhan, pasti isi rumahmu sangat membosankan!” tambahnya, dan mereka pun kembali terkikik-kikik geli.
“Enak saja!!!” bantah Niana sambil mengacungkan sapunya.
Melihat gelagat Niana, anak-anak itu segera lari berhamburan sambil menjerit-jerit ketakutan.
“Tunggu!!” Teriak Niana. Terlambat! Padahal Niana baru saja hendak mengajak mereka masuk untuk melihat bahwa isi rumahnya tidaklah membosankan.

Di salah satu sudut rumah, Niana punya rumah boneka yang cukup besar, lengkap dengan perabot-perabot kecil dan boneka-boneka penghuninya. Ia juga punya sebuah kotak musik dengan sepasang penari balet di dalamnya. Ia juga punya mainan kayu yang dapat menghasilkan suara burung dan petir, boneka badut yang dapat digerakkan dengan tali, perahu penjelajah di dalam botol, belum lagi buku-buku cerita bergambar yang tersimpan rapi dalam sebuah kotak harta karun mirip milik para perompak.

‘Seharusnya mereka melihat semua itu’, pikir Niana.

Niana kembali menunggu dengan penuh harap. Setiap beberapa saat Niana maju satu langkah, sehingga tak lama kemudian ia telah berdiri tepat di balik pagar putihnya.

Sekarang ia memang dapat melihat jalanan dengan lebih jelas, tetapi beberapa saat kemudian awan gelap datang dan guntur mulai bergemuruh, angin pun bertiup kencang menebarkan daun-daun kering ke segala arah. Bulu roma Niana berdiri akibat dinginnya tiupan angin.

Seakan terbawa oleh angin, dari ujung jalan muncul seorang wanita muda, berjalan terburu-buru sambil berusaha mempertahankan selendangnya agar tidak ikut tertiup angin. Ia tertegun dan berhenti berjalan begitu melihat Niana sedang berdiri di balik pagar.

“Apa yang kau lakukan di sini, Nak? Lihat, betapa hangat kelihatannya rumah mungilmu itu? Segeralah masuk sekarang juga. Kamu bisa terserang flu.” ucapnya khawatir.
Sejenak Niana ragu, tetapi akhirnya ia menjawab pertanyaan wanita itu.
“Di dalam memang hangat sekali,” jawabnya. “Maukah kau masuk bersamaku?” ajak Niana.
Wanita itu tersenyum lembut.
”Tentu saja aku mau. Tapi sekarang aku harus segera menemui Peter. Seharusnya aku sudah menemuinya di jembatan satu jam yang lalu. Sekarang mood-nya pasti sudah jelek sekali.” jelasnya. Dan sekali lagi wanita muda itu pun melemparkan senyum dan pergi.

Niana mengikuti punggung wanita muda itu dengan pandangannya. Tiba-tiba guntur menggelegar dan satu persatu tetes hujan pun turun membasahi Niana. Niana bergegas masuk ke rumah dan membuat secangkir teh untuk menghangatkan tubuhnya. Ia duduk menatap ke luar jendela. Tiba-tiba Niana merasa sangat kesepian.

Sekonyong-konyong terlihat seorang laki-laki kecil berlari dari ujung jalan sambil melindungi kepalanya dengan jaket yang sudah basah kuyup. Tanpa berpikir panjang Niana segera berlari ke luar rumah sambil berteriak memanggil laki-laki itu.

“Hei, Pak!!! Ayo berteduh saja di rumahku!!!!” teriaknya. Niana lupa bahwa hujan akan membuatnya basah kuyup.

Sayang sekali, laki-laki kecil itu bahkan tidak menanggapi teriakannya. Ia hanya menengok sekilas dan segera memalingkan kembali wajahnya, mengambil langkah yang lebih besar-besar lagi menjauhi rumah Niana.

Niana menggigil memasuki rumah mungilnya. Ia sangat kedinginan, tetapi ia merasa matanya panas dan air yang mengaliri pipinya terasa hangat. Niana mengeringkan tubuhnya, membuat secangkir coklat panas dan menyamankan diri di kursi goyang di samping jendela sambil menanti hujan reda.

Niana tak sadar apakah hujan berlangsung sebentar atau semalaman, ia jatuh tertidur di kursi goyangnya yang berbantalan empuk. Ketika Niana terbangun, sinar matahari pagi menyapu lembut matanya dan burung-burung kecil berkicau bermain di daun jendela.

Niana mengerjap, ia tidak begitu ingat apa yang kemarin ia alami. Niana menguap. Sejenak ia memandangi rumah mungilnya yang diterangi sinar mentari pagi. Biasanya Niana selalu menyukai mentari pagi, tetapi entah mengapa hari ini ia merasa ada yang salah dengan rumahnya. Ia tidak tahu apa itu, ia hanya merasa rumah itu agak gelap dan dekorasi di dalamnya terasa berantakan.

Ia membuka pintu rumahnya. Kebun mungilnya menyapa dengan kesegaran luar biasa akibat siraman hujan kemarin sore dan tetes-tetes embun pagi berkilauan di bawah sinar lembut mentari. Niana tidak mengerti, tetapi ia merasa ada yang berubah dari kebun mungilnya. Niana berpikir, sepertinya kebun itu harus dipercantik lagi, dan lihat, tomat-tomat dan mentimun tumbuhnya agak berantakan.

Niana memandangi pot-pot bunga yang bergantungan di langit-langit teras. Mereka terlihat sunyi dan tidak beraturan. ‘Mungkin sudah saatnya aku menggantinya dengan pot-pot lain, atau mungkin dekorasi yang lain.’ Pikirnya.

Niana tidak tahu apa yang salah dengan pagi itu. Ia tidak tahu apa yang berubah dari kebun dan rumahnya. Mereka tampak sama sekaligus berbeda. Sepertinya, Niana tidak lagi terlalu menyukai mereka.

Dengan hati ganjil Niana mengambil sapu yang bertengger di tembok depan dan mulai menyapu. Dari sudut matanya, Niana menangkap seseorang datang dari ujung jalan. Sambil terus menyapu, Niana membalikkan badannya, memunggungi pagar, dan menyapu baik-baik debu-debu dari lantai terasnya.

No comments:

Post a Comment